SariAgri - Volatilitas mata uang negara berkembang atau emerging maket (EM), seperti rupiah Indonesia dalam beberapa bulan mendatang diperkirakan cenderung meningkat.
Berdasarkan jajak pendapat ahli strategi Reuters, memori investor mata uang EM masih dihantui kebijakan pengetatan Federal Reserve di masa lalu. Namun kenaikan harga komoditas memberikan dukungan di tengah laju vaksinasi Covid yang lambat.
Setelah membalikkan kemerosotan yang disebabkan pandemi dan mencapai rekor tertinggi bulan lalu, indeks mata uang EM merosot ke level terendah lebih dari satu bulan, setelah The Fed memproyeksikan percepatan waktu pengetatan kebijakannya.
Mewaspadai kemungkinan pengurangan (tapering) stimulus AS yang lebih cepat, dalam beberapa bulan mendatang investor mungkin menghindari mata uang  fragile five. Peso-Brasil, rupee-India, rupiah-Indonesia, lira-Turki, dan rand-Afrika Selatan, berguguran pada tahun 2013 silam, ketika The Fed memperketat kebijakan moneternya dan mulai menaikkan suku bunga, menimbulkan fenomena yang disebut dengan taper tantrum.
Meskipun fundamental, valuasi dan posisi sudah berbeda dengan kondisi tahun 2013, banyak ahli strategi valas yang masih saja meraukan daya tahan ekonomi negara-negara itu. Dalam polling 28 Juni-1 Juli yang digelar Reuters, hampir 60 persen dari 57 ahli strategi mengatakan mata uang EM berada pada risiko tinggi dari kemungkinan  tapering  The Fed tahun ini.
"Karena pasar menyesuaikan ekspektasi seputar pengurangan pembelian aset The Fed dan pergerakan kenaikan, USD mungkin tetap pada pijakan yang lebih kuat," kata Johanna Chua, ekonom EM Asia di Citi.
"Volatilitas di sekitar ekspektasi inflasi - dan terkait dengan komoditas, ekuitas, dan sebagainya - dapat menyebabkan volatilitas dalam mata uang EM juga. Tapi secara umum investor mungkin tetap berhati-hati dalam mengambil eksposur mata uang EM yang bullish," Chua menambahkan, Jumat (2/7).
Baca Juga: Rupiah Akhir Pekan, Pengamat: Belum Ada Tanda-tanda MenguatPPKM Darurat Diumumkan, Rupiah Hanya Melemah Tipis
Survei menunjukkan prospek mata uang EM beragam, karena real Brasil, rupee India dan lira Turki diperkirakan melemah, sementara yuan China, rubel Rusia dan rand Afrika Selatan diperkirakan akan naik dalam 12 bulan ke depan.
Mata uang EM mana yang akan berkinerja lebih baik tahun ini, jika kurva imbal hasil AS meningkat? Lima belas dari 42 responden menunjuk pada mata uang berbasis komoditas secara umum. Namun 11 responden memilih mata uang yang kenaikannya mengikuti reflasi, dan 11 mengarah pada mata uang berimbal hasil tinggi, dan 5 responden mengatakan mata uang berimbl hasil rendah.
"Mata uang tersebut diekspektasikan akan didukung oleh ekspor besar komoditas, atau bank sentral mengambil pendekatan konvensional untuk normalisasi sehingga berkinerja unggul," kata Chris Turner, kepala pasar global di ING.
"Asia adalah mata rantai yang lemah saat ini. Pembaharuan penguncian, dan dampaknya pada rantai pasokan serta permintaan global perlu dipantau dengan hati-hati. Namun secara seimbang kami berharap permintaan renminbi akan tetap - bagaimanapun juga, mata uang ini memberikan imbal hasil yang tinggi."
Mata uang EM yang paling aktif diperdagangkan, yuan China, diperkirakan naik tipis sekitar 1 persen menjadi 6,4 per dolar dalam setahun.
Rand Afrika Selatan, mata uang berimbal hasil tinggi lainnya - namun berkinerja terburuk di antara mata uang EM di bulan Juni - diperkirakan akan naik lebih dari 2 persen menjadi 14,0 per dolar AS dalam enam bulan ke depan.
"Narasi Afrika Selatan telah meningkat pesat dalam beberapa bulan terakhir, dan kami percaya rand akan melihat kenaikan lebih lanjut dalam waktu dekat," kata Phoenix Kalen, kepala riset pasar negara berkembang di Societe Generale.
"Rand akan terus diuntungkan dari pemulihan ekonomi global, kenaikan harga komoditas logam dan mineral, dan sentimen risiko pasar yang menguntungkan."
Mata uang berbasis minyak seperti rubel Rusia melorot pada Rabu lalu, karena puncak periode pajak domestik yang menguntungkan telah berlalu, dan kekhawatiran atas melonjaknya kasus Covid-19 di dalam dan luar negeri merusak minat erhadp maa uang berisiko.
Tetapi rubel diperkirakan akan naik sekitar 2 persen menjadi 71,5 per dolar AS dalam setahun.
" Lockdown , kenaikan inflasi, politik, dan harga minyak yang rendah menjadi hambatan bagi rubel pada tahun 2020. Tapi faktor-faktor itu telah berubah mendukung RUB yang lebih kuat," kata Lars Sparres Merklin, analis senior FX di Danske Bank.
Breaking News "Karena pemulihan sedang berlangsung, risiko  hawkish  bank sentral dan politik memudar, rubel mungkin melihat dukungan lebih lanjut," imbuhnya.
Sementara harga minyak yang tinggi menguntungkan eksportir seperti Rusia dan sebagian besar Amerika Latin, importir seperti India dan Turki akan menderita.
Rupee India, yang mencatat penurunan bulanan terbesar pada Juni, sejak awal pandemi Maret tahun lalu, akan terdepresiasi 0,5 persen lagi menjadi 74,75 per dolar dalam setahun. Lira Turki akan jatuh lebih dari 9 persen menjadi 9,5 per dolar dalam 12 bulan ke depan.
Video Terkait: